Foto anak-anak santri Taman Pendidikan Al-Qur’an
di Fakfak, Papua Barat
|
“Ini adalah tindakan diskriminatif dan zhalim terhadap siswa Muslim yang terus berulang terjadi di lembaga pendidikan. Terutama di daerah yang Muslim bukan mayoritas. Pemerintah pusat lemah dalam pengawasan dan cenderung menunggu terjadinya kasus yang diangkat masyarakat, baru berkomentar akan memberikan sanksi pada pihak sekolah atau dinas pendidikan. Sebelumnya juga terdapat larangan serupa dengan alasan sama terhadap siswi muslim di berbagai wilayah Bali, di Maluku dan di Sorong Papua,” kata Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Iffah Ainur Rochmah, dalam rilisnya diwartakan hti.or.id.
Dia mensinyalir ada yang patut diwaspadai dari berulangnya pelanggaran terhadap hak Muslim untuk beribadah dan pembangkangan terhadap regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. “Apalagi dilakukan oleh pimpinan sekolah milik pemerintah atau lembaga negara lainnya. Lalu dimana letak toleransi? Bukankah ini mengganggu integrasi sosial dan bisa menjadi benih perpecahan dan konflik horisontal? Sangat berbahaya bila diabaikan.”
Iffah juga menuding adanya ambigu para pegiat HAM. Bila konsisten pada penegakan HAM dan perwujudan toleransi, kata dia, di negara demokrasi semestinya tidak ada larangan penggunaan jilbab itu. Namun bisa kita lihat pejuang HAM dan aktifis perempuan dan demokrasi tidak banyak bersuara terhadap berbagai kasus pelarangan kerudung baik di sekolah maupun di berbagai lembaga pemerintah.
“Berbeda dengan lantangnya mereka menyuarakan kebebasan, toleransi dan hak memakai rok mini, aliran sesat dan pembangunan rumah ibadah non muslim. Ini membuktikan bahwa demokrasi dan seruan penegakan HAM dan toleransi hanya untuk memuluskan kebatilan dan memfasilitasi pelaku kemaksiatan. Demokrasi absen dan mandul membela kepentingan muslim, apalagi kepentingan Islam,” tegasnya.
Sebelumnya telah diberitakan, siswi SD diancam dikeluarkan dari sekolah karena berjilbab. Seorang siswi SD Negeri Entrop di Jayapura Papua mendapat teguran, dipulangkan bahkan diusir agar pindah ke sekolah lain karena memakai kerudung (jilbab) ke sekolah (18/8/2014).
Meski orang tua siswa tersebut meyakinkan kerudung yang dipakai anaknya tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar, pihak sekolah tetap menganggapnya sebagai pelanggaran aturan berseragam. Kepala sekolah SDN tersebut malah beralasan pelarangan tersebut adalah demi keseragaman dan mengajarkan kebersamaan. Karena Papua mayoritas non muslim, bila siswi muslim ingin memakai pakaian muslimah semestinya memilih sekolah Islam.
Perlu diketahui, meskipun penduduk Papua mayoritas Kristen, namun penduduk Kabupaten Fakfak, Papua Barat berpenduduk mayoritas Muslim. Dari jumlah penduduk sebanyak 60 ribu jiwa, 70 persennnya adalah muslim. Guru SMK Yapis Fakfak, Papua Barat, Baseati mengatakan yang membedakan wanita Muslim dengan non-Muslim di Fakfak adalah jilbabnya. Muslimah Papua malu bila tak berjilbab.
“Kami wanita Muslim merasa malu jika sejak baligh tidak memakai jilbab,” ujar Baseati, lansir ROL Jumat (2/5/2014). Maa sya Allah. (azm/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2014/09/10/pelarangan-jilbab-siswi-sd-di-papua-diskriminatif-dan-dzalim.html#sthash.2qJ14VfV.dpuf
Topik: ham, headline, jilbab papua, muslimah HTI
- Artikel ini bersumber dari Arrahmah.com di posting ulang untuk GoldenGo90, sebuah blog alternatif untuk teman-teman Almuni Pondok Modern Gontor Periode 1990 dalam rangka Persiapan Temu Almuni Go90 tahun 2015 di Pondok Modern Gontor. Bagi Sahabat Go90 yang memiliki aktivitas menarik dan ingin di Posting di Blog ini silakan kirimkan Foto Kegiatan dan Ulasannya ke gispandi@gmail.com .
0 komentar:
Posting Komentar